Langsung ke konten utama

Narasi Gurunda

Beda. Satu kata yang aku rasa sangat pas mewakili buku biografi ini. Buku biografi yang selama ini kutahu biasa ditulis dengan bahasa yang serius dan agak berat. Beda halnya dengan buku ini.




Narasi Gurunda merupakan sebuah karya novelisasi biografi bapak KH. Ahmad Taufik Kusuma, seorang tokoh masyarakat dan juga tokoh agama yang tak lain adalah ayahanda dari sang penulis @jihanmw. Biografi dalam buku ini dinarasikan dengan bahasa lugas, ringan, dan sangat mudah dipahami.

Sejujurnya selama ini aku kurang begitu minat pada novel, melainkan lebih pada buku-buku nonfiksi, termasuk pengembangan diri dan yang bernuansa religi. Meski buku ini berbentuk novel, bagiku membacanya sungguh mengasyikkan sekali. Barangkali karena ini biografi, banyak pula makna dan pelajaran yang kental dalam sisi religi. Ada beragam rasa yang hinggap dikala membaca buku ini. Ada rasa cemas, haru, sedih, juga lucu. Pilihan dan rangkaian katanya sukses menggiringku untuk terus mengikuti alur cerita hingga akhir.

Dalam Narasi Gurunda ini dinarasikan kehidupan bapak KH. Ahmad Taufik Kusuma dari masa sekolah hingga saat ini yang sangat menginspirasi. Kesungguhan dan keteguhannya sangat besar untuk tetap bisa bersekolah. Disaat ada banyak anak seusianya ikut sibuk dengan aktivitas membantu bisnis pembuatan sepatu, hingga tidak sedikit yang memilih menjadi buruh pabrik dibanding melanjutkan sekolah karena hasilnya yang memang menjajikan. Taufik tetap bersikukuh untuk tidak ikut dalam aktivitas itu. Ia tidak ingin ketagihan bekerja hingga lupa cita-citanya untuk bersekolah sampai universitas.

Dalam menempuh pendidikan tinggi pun dilalui dengan perjuangan. Soal makan, Taufik patungan dengan teman sekamarnya untuk berbelanja setiap harinya. Kemudian dimasak dan dimakan bersama-sama. Ia bekerja keras sepulang kuliah hingga malam hari demi bisa membayar uang semester berikutnya dan biaya hidup sehari-hari. Saat di semester tiga, tak lama setelah ujian akhir semester selesai, Taufik mendapat tawaran mengajar di sebuah sekolah swasta. Di sekolah tempat ia mengajar itu lah, Taufik bertemu dan mengenal sosok perempuan yang kemudian menjadi pendamping hidupnya, ia lah Ibu Sri Herawati.

Di beberapa bab akhir dari buku ini, diceritakan tentang ujian yang hadir dalam kehidupan Taufik dan Sri. Mulai dari meninggalnya ibunda Sri karena penyakit serius. Lalu Sri yang mengidap usus buntu dan harus dioperasi. Sempat diklaim gagal dalam operasi, hingga seperti dihadapkan pada gerbang kematian. Saat Sri dirawat di RS, kakek kesayangan Sri meninggal.
Di beberapa bab akhir pula dicantumkan surat cinta Allah yang begitu menguatkan dan menentramkan jiwa jiwa beriman.

Dalam pengasuhan dan pendidikan terhadap anak, Taufik dan Sri termasuk sukses memberikan teladan bagi anak-anak mereka. Bahwa hidup ini jika sekedar hidup, maka babi hutan pun bisa hidup. Begitu salahsatu kutipan ucapan Buya Hamka tentang hakikat manusia dan tugasnya di bumi ini.

Dari awal hingga akhir narasi ini,  begitu banyak pesan moral yang bisa didapat. Ada nasehat nasehat yang disampaikan dengan sangat elegan.



Di bab terakhir dapat kita ketahui bahwa pengorbanan di awal akan selalu membuahkan sesuatu yang indah di hari kemudian. Jika dulu Taufik semasa kecil rela tak ikut rekreasi akhir tahun di sekolahnya, baik itu SD, SMP, dan SMA. Kini ia bisa melakukan ziarah suci ke Makkah dan Madinah atas izin Allah. Bahkan Taufik diberikan kesempatan untuk pergi ke China, Malaysia, Singapura dan banyak kota lain di Indonesia. Allah menjawab segala doa dan harapannya saat ini juga di dunia. Sebagai bukti kebesaran Allah.


Narasi Gurunda oleh Jihan Mawaddah

Cetakan kedua Februari 2020, Sanggar Caraka, Tuban, 161 halaman

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Seorang Perempuan Tentang Perempuan

source: pinterest  Suatu ketika ada sebuah opini yang menyebut jika perempuan telah bersuami dan tinggal jauh dari orangtua, maka saat berkunjung ke rumah orangtua bisa jadi ibarat momen liburan. Hari-hari lebih santai dan nggak musti berjibaku dengan pekerjaan rumah seperti biasanya. Barangkali itu memang berlaku buat sebagian orang, tapi nggak buat aku.   Dalam sepekan lalu saat berada di rumah orangtua, hari-hariku hampir sama dengan biasanya. Setelah sholat subuh beralih ke pekerjaan rumah; memasak, beberes dapur, mencuci piring, beberes rumah. Disaat itu semua selesai sedang anak masih lelap, aku sempatkan diri buat mengikat ide dan gagasan. Saat dia sudah terbangun, tugasku pun beralih untuk memperhatikannya; memandikan, memberikan makan, dan menemaninya bermain atau belajar. Siang hari menjadi waktu tidur seperti biasanya.  Tidak melulu hanya di rumah, pun aku memanfaatkan waktu disana untuk bersilaturahim ke rumah saudara juga teman. Ada pula dari mereka yang langsu

BUKU ANTOLOGI 2016 - 2019

Aku dan Keputusanku

Tiga tahun sudah aku menjalani peran baru sebagai ibu. Selama kurun waktu itu, aku merasa menjadi lebih baik dibanding diriku yang dulu. Menjalani peran itu membuatku menjadi lebih bersemangat dan bersegera untuk melakukan pekerjaan, sebab sadar betul jika waktu sudah tak sebebas dulu. Pun aku menjadi mampu menundukkan ego pribadiku. Tak dipungkiri terkadang ada pula hal melelahkan juga menjengkelkan, hingga ingin memunculkan kemarahan. Aku memang belum menjadi ibu yang baik sepenuhnya. Namun, dari kedalaman hati, sungguh sangat ingin rasanya menjadi sosok ibu yang baik dan penuh tanggung jawab. Aku mantap menjalani keputusan sebagai ibu rumah tangga. Bagiku itu bukanlah sebuah keterpaksaan--memang muncul dari dalam diriku sendiri--sebab aku ingin menjalani lebih banyak waktu di rumah. Dengan demikian aku bisa lebih mengawasi dan memperhatikan anak. Tentu selama ini aku masih  dibantu dalam menjaga dia, disaat aku butuh melakukan pekerjaan dan hal lain yang memang perlu dilakukan