Langsung ke konten utama

Aku dan Keputusanku

Tiga tahun sudah aku menjalani peran baru sebagai ibu. Selama kurun waktu itu, aku merasa menjadi lebih baik dibanding diriku yang dulu. Menjalani peran itu membuatku menjadi lebih bersemangat dan bersegera untuk melakukan pekerjaan, sebab sadar betul jika waktu sudah tak sebebas dulu. Pun aku menjadi mampu menundukkan ego pribadiku. Tak dipungkiri terkadang ada pula hal melelahkan juga menjengkelkan, hingga ingin memunculkan kemarahan. Aku memang belum menjadi ibu yang baik sepenuhnya. Namun, dari kedalaman hati, sungguh sangat ingin rasanya menjadi sosok ibu yang baik dan penuh tanggung jawab.



Aku mantap menjalani keputusan sebagai ibu rumah tangga. Bagiku itu bukanlah sebuah keterpaksaan--memang muncul dari dalam diriku sendiri--sebab aku ingin menjalani lebih banyak waktu di rumah. Dengan demikian aku bisa lebih mengawasi dan memperhatikan anak. Tentu selama ini aku masih  dibantu dalam menjaga dia, disaat aku butuh melakukan pekerjaan dan hal lain yang memang perlu dilakukan.

Selain itu, aku memiliki sebuah cita-cita yang menjadikan rumah sebagai basis permulaannya. Cita-cita itu sudah cukup lama aku dambakan, sejak jauh hari sebelum bertambahnya peranku sebagai ibu. Berulangkali aku mengupayakan, tapi masih juga belum menemukan jalan. Entah, rasanya hal itu terasa tak begitu mudah. Padahal aku sudah mantap betul dengan niat, motivasi, dan tujuanku untuk itu. Bukan hanya soal materi, gengsi atau eksistensi, tapi soal prinsip, idealisme serta keinginan diri untuk bisa bermanfaat bagi sebanyak banyak manusia.

Berwirausaha bidang busana. Itu lah yang menjadi cita-cita. Sebuah bidang usaha yang memang sesuai dengan pendidikanku sebelumnya. Mengingat lagi sebegitu banyaknya pengorbanan ku untuk bisa menempuh pendidikan itu, membuatku merasa ingin bisa berhasil di dalamnya. Selain itu adanya keinginan untuk bisa menjadi outlier agar dapat berkontribusi lebih banyak bagi masyarakat yang tentunya itu bisa membuatku "lebih dipandang". Bukan berarti sombong. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Apabila ada sesuatu yang dipandang, maka akan menjadikan apa yang aku sampaikan menjadi lebih bermakna dan berpengaruh, serta dapat menginspirasi dan memotivasi yang lain. Aku berfikir akan ada banyak hal positif yang dapat kulakukan jika cita-cita itu bisa mewujud nyata.







Dalam tiga tahun ini, bisa dibilang aku masih bersikeras untuk berupaya lagi dan lagi mewujudkan cita-cita itu. Beberapa kali membuat produk pakaian, lalu aku jual. Tapi hasilnya masih belum sesuai harapan. Aku pun menerima jasa penjahitan. Semua itu naik turun aku jalani. Adakalanya semua itu berjalan ringan disamping peranku sebagai istri dan ibu. Tak jarang pula terasa sedikit berat apalagi saat pekerjaanku itu berbarengan kesibukan ibu mertua dengan usaha kulinernya. Beberapakali pernah hingga tidak sempat membuat menu masakan, terutama untuk si kecil karena saking sibuknya aku. Sungguh ada perasaan bersalah menghampiriku disaat seperti itu. Pun ketika aku terlalu lama menitipkannya kepada yang lain, sementara aku berjibaku dengan pekerjaan itu. Suami pun sering menegur atas sikap kerasku itu. Berulangkali ia selalu mengingatkan agar aku menjadikan anak prioritas utama.

Sungguh Allah sang penggenggam hati, yang maha membolakbalikkan hati manusia. Jika sebelumnya aku bersikeras untuk berupaya mewujudkan cita cita itu, namun kini agaknya berbeda. Setelah melalui berbagai pengalaman serta banyak pertimbangan, saat ini aku memilih untuk benar-benar lebih fokus pada tugas utamaku sebagai ibu. Soal cita-cita itu, aku tidak bersikeras lagi. Santai saja. Aku fikir pekerjaan itu masih terbilang kompleks untuk aku lakukan saat ini. Aku belum dapat mengatur waktu dan emosiku dengan baik. Satu yang pasti, aku tidak memendam cita-cita itu. Aku masih berharap suatu saat nanti, Allah memberiku jalan. Di waktu yang tepat.

Apalah arti cita-cita untuk bisa bermanfaat bagi sebanyak banyak manusia, apabila tugas utama saja masih belum optimal tertunaikan.
Ketika aku melihat anak bisa melafalkan kalimat kalimat tauhid bahagia rasanya, masya allah. Meski di lain sisi masih sulit bagi dia untuk kuajak  pergi mengaji. Hafalan surat pendeknya juga masih belum lancar padahal berulangkali sudah aku ajarkan. Lalu belakangan si anak ini juga sering usil mencubit, memukul, melempar, membantah, dan hal tak diharapkan yang lain.  Aku merasa  banyak sekali PR ku sebagai ibu. Termasuk menanamkan imaji imaji positif tetang Allah dalam rangka menumbuhkan kecintaan kepadaNya. Tidak lupa, yang paling penting adalah aku harus dapat merawat fitrah yang ada pada dirinya, membersamainya untuk bisa menemukan peran peradaban terbaik di masa depan nantinya.



Selama kuranglebih empat tahun ini aku cukup antusias dalam kepenulisan. Setiap kali berlintasan ide dan gagasan di kepala aku hampir selalu akan mencatatnya di buku atau ponsel. Aku senang berbagi gagasan dan pemikiran lewat tulisan. Saat ini aku ingin lebih serius dengan itu. Salahsatu caraku adalah dengan menambah platform online di blog.

Beberapakali suami mewarning boleh melakukan hal aktivitas pribadi asal anak dulu yang jadi prioritas. In sya allah bisa. Aku rasa soal aktivitas menulis tidak lah sekompleks aktivitas mewujudkan busana. Menemani anak sambil sedikit menyempatkan mencatat bisa. Sedangkan jika membuat pola, memotong bahan, atau menjahit sudah barang tentu tidak akan bisa.



Aku bahagia dan bangga menjalani lebih banyak waktu di rumah, menjadi ibu rumah tangga dan memiliki banyak waktu untuk anak.  In sya alla enjoy dan happy menjalaninya, sebab ada pemahaman dan pertimbangan yang matang dalam memutuskannya.

Beberapa hari lalu, aku mendapati kata-kata luar biasa  yang relate dengan tulisanku ini, kurasa itu sekaligus bisa dianggap doa yang harus diaamiini,
"Fokus menunaikan tugas apapun yang diamanahkan langsung oleh Allah pada kita akan menentramkan jiwa, dan hasilnya kelak pasti luar biasa."@febriantialmeera

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Seorang Perempuan Tentang Perempuan

source: pinterest  Suatu ketika ada sebuah opini yang menyebut jika perempuan telah bersuami dan tinggal jauh dari orangtua, maka saat berkunjung ke rumah orangtua bisa jadi ibarat momen liburan. Hari-hari lebih santai dan nggak musti berjibaku dengan pekerjaan rumah seperti biasanya. Barangkali itu memang berlaku buat sebagian orang, tapi nggak buat aku.   Dalam sepekan lalu saat berada di rumah orangtua, hari-hariku hampir sama dengan biasanya. Setelah sholat subuh beralih ke pekerjaan rumah; memasak, beberes dapur, mencuci piring, beberes rumah. Disaat itu semua selesai sedang anak masih lelap, aku sempatkan diri buat mengikat ide dan gagasan. Saat dia sudah terbangun, tugasku pun beralih untuk memperhatikannya; memandikan, memberikan makan, dan menemaninya bermain atau belajar. Siang hari menjadi waktu tidur seperti biasanya.  Tidak melulu hanya di rumah, pun aku memanfaatkan waktu disana untuk bersilaturahim ke rumah saudara juga teman. Ada pula dari mereka yang langsu

BUKU ANTOLOGI 2016 - 2019